HALAMAN INI MENGANGKAT TENTANG ARTIKEL DAN OPINI PUBLIK TAHUN 2014

Senin, 17 Maret 2014

MEMPERTAHANKAN KEARIFAN BUDAYA LOKALSUKU BUGIS MAKASSAR

oleh : Maryam SP.d, MS.i 

Kearifan lokal merupakan miniatur agung dalam panggung kebudayaan, Ia merupakan konsep keadaban yang paripurna, bertindak sebagai rambu di setiap sendi kehidupan, olehnya itu, pada masing-masing Suku yang mendiami Indonesia, menjadikan kearifan lokal sebagai kekayaan budaya yang mesti terlestari, landasan dalam berpijak, serta “kebanggaan” bagi masyarakatnya. 

Pengetahuan lokal (kearifan lokal) merupakan hasil adaptasi suatu komunitas yang berasal dari pengalaman hidup yang di komunikasi kan dari generasi ke generasi. Sehingga kearifan local merupakan pengetahuan lokal yang digunakan masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungannya yang menyatu dengan sistem kepercayaan , norma , budaya dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama Proses regenerasi kearifan lokal dilakukan melalui tradisi lisan (cerita rakyat) dan karya-karya sastra , seperti babad , suluk, tembang, hikayat, lontarak dan lain sebagainya.              

Kearifan Budaya Lokal Cerminan Perilaku Budaya Masyarakatnya berlatar belakang dari suatu sifat dan tingkah laku masyarakat indonesia mengenai kebuadayaan lokal yang ada indonesia, yang dimana kebudayaan tersebut merupakan turun temurun nenek moyang kita pada sebelumnya. Pendidikan karakter bukan hanya berperan guna membentuk kualitas individu berbudi pekerti mulia, berintegritas, maupun bermartabat, melainkan juga dapat mendorong terbentuknya jati diri bangsa yang berlandaskan pada nilai-nilai luhur kebudayaan. 

Dalam kebudayaan masyarakat Indonesia, terdapat “value” atau nilai nilai budaya yang berasal dari “value” masyarakat tradisional lokal, dan telah menjadi suatu tatanan “budaya” yang dianggap mengatur dan mengikat sehingga patut dijadikan sebagai pedoman hidup bagi semua perilaku dan pengambilan keputusan karena nilai itu dianggap etis, logis, mulia, sakral, mengandung harapan masa depan, dan menjadi identitas jati diri dan karakter bangsa.

Nilai budaya dipahami sebagai konsepsi yang hidup dalam alam pikiran dari sebagian besar masyarakat tradisional sebagai sesuatu yang berharga dalam hidup. Karena itu nilai menjadi dasar dari kehidupan manusia dan menjadi pedoman ketika orang akan melakukan sesuatu. Koentjaraningrat berkata; bahwa nilai budaya suatu masyarakat bisa berubah. Terjadinya perubahan nilai itu menunjukkan bahwa nilai budaya tidak muncul begitu saja. 

Nilai budaya suatu masyarakat diproduksi, dipertahankan, dan dikomunikasikan melalui media seperti; media pendidikan, sistem ekonomi, organisasi, upacara tradisional, kesenian tradisional, maupun arsitektur tradisionalnya. Kita tidak akan mampu menolak modernitas kebudayaan sebagai konsekuensi dunia yang mengglobal. Setiap kebudayaan selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Perubahan itu tergantung dari dinamika masyarakatnya. 

Terjadinya perubahan tatanan budaya bukan hanya disebabkan oleh pengaruh eksternal, tetapi juga akibat pengaruh internal karena berubahnya cara pandang masyarakat tradisional terhadap perubahan kehidupan dan penghidupan mereka. Kebudayaan memang bersifat dinamis, berkembang dan mengalami pengaruh lingkungan strategisnya yang menjadikan kebudayaan berubah dari waktu ke waktu. Perubahan itu menyebabkan beberapa unsur kebudayaan universal mencapai puncak orbitasi dalam kulminasinya dan mempunyai nilai yang semakin tinggi. 

Kearifan Lokal Suku Bugis Makassar 

Salah satu kearifan lokal masyarakat suku Bugis Makassar adalah bagaimana prinsip hidup yang dianutnya. Prinsip hidup merupakan nilai-nilai yang dianut oleh kebanyakan masyarakat terdahulu dan itulah yang membentuk karakter orang-orang ditiap daerahnya. 
Berikut ini beberapa prinsip hidup masyarakat suku bugis Makassar: 

  1. Prinsip hidup tidak pasrah pada keadaan . Orang bugis Makassar sangat menghargai seseorang yang memiliki semangat juang yang tinggi dan tidak mudah menyerah hingga akahir.Bahkan ketika lawanya terlalu kuat sekalipun sangat memalukan ketika dia hendak menyerah dan mengalah yang penting yakin bahwa yang diperjuangkan adalah kebenaran. 
  2. Solidaritas dan kebersamaan . Bagi orang bugis Makassar kebersamaan sangatlah penting,ikatan solidaritas dan kebersamaan sangat dijunjung tinggi.penghianat ialah perbuatan yang sangat rendah di mata orang bugis Makassar.Munkin bagi seseorang yang baru tinggal dimakassar heran melihat segerombolan pemuda tawuran karena hanya srombongang cewek digoda oleh cowok,sementara di di gerombolan cewek itu ada cowokdan jika seseorang cowok itu tidak memebla maka akan sangat memalukan,dan jika dia melawan akan datanglah teman2nya untuk membantu dengan alasan setia kawan 
  3. Harga diri.  Masyarakat bugis Makassar sangat menjunjung tinggi sipakatau dan rasa malu.jika suda dipermalukan maka harus melakukan tindakan untuk menutupi rasa malunya tersebut dan bagi seseorang yang sudah dipermalukan dan tidak melakukan tindakan berarti dia akan tidak memiliki tempat dimasyarakat. 
Orang bugis Makassar sangat menghargai tata karma/sopan santun yang dikenal sipakatau(saling menghargai antar manusia)setiap orang dituntut untuk memperlakukan semua orang dengan baik dan santun.masyarakat bugis Makassar dapat memahami tindakan yang dilakukan sebagai reaksi dari ketidak sopanan seseorang. Masyarakat Bugis dan Makassar yang juga memiliki konsep kearifan lokal sebagai instrumen keadaban, sebuah keadaban yang telah “mengakar” dalam “lautan” kehidupan masyarakatnya. Sehingga, dalam falsafah Bugis dan Makassar dikenal Budaya Siri’, Siri’ berarti rasa malu. 

Masyarakat Bugis dan Makassar menempatkan rasa malu sebagai “alas” menjalani kehidupan, yang termanifestasi dalam berbagai tindakan, malu jika mencuri (Korupsi), malu jika berbohong, malu jika bodoh, malu jika berbuat zalim, malu jika bertindak anarkis atau melakukan “kekerasan”, dan masih banyak lagi muatan malu yang tak dapat tersaji dalam tulisan sederhana ini. Budaya siri na pacce merupakan pedoman hidup bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam menjalani kehidupannya. 

Budaya Siri na Pacce telah ada sejak ratusan tahun yang lalu serta merupakan budaya luhur nenek moyang yang di junjung tinggi dan masih bertahan sampai sekarang meskipun telah banyak mengalami bias atau pergeseran makna seiring dengan perkembangan zaman. Internalisasi nilai-nilai budaya ”Siri Na Pacce”akan menempatkan pribadi-pribadi menjadi manusia yang unggul, utuh, dan tidak terpecah-pecah. Sebab, budaya ”Siri Na Pacce” mengandung nilai-nilai yang universal yang mengajarkan seseorang menghargai hakikat penciptaannya, mengajarkan seseorang peduli terhadap kesulitan hidup sesama manusia, tolong menolong dan lain-lain. 

Dengan kata lain nilai-nilai kebudayaan yang terdapat dalam suatu masyarakat tertentu mempunyai peranan membentuk kepribadian manusia sebagai individu begitupun sebaliknya. Budaya ”Siri Na Pacce” sebagai salah satu anutan nilai budaya tentunya mempunyai kontribusi yang tak ternilai harganya bagi individu, pribadi-pribadi maupun bagi masyarakat. Budaya modernitas sekarang ini telah banyak meluluh lantakkan kearifan lokal yang menjadi warisan nenek moyang , bukan hanya itu krisis kemanusiaan yang melanda dunia global adalah merupakan wujud nyata dari efek yang ditimbulkannya dan disetiap sektor kehidupan yang ada. 

Oleh karena itu, di perlukan upaya dalam melakukan counter terhadap hegemonikekuatan besar tersebut sehingga dapat mencegah problem kehidupan yang berkepanjangan, mulai dari sektor domestik hingga sektor publik, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, hingga masyarakat luas. Penegakan hukum berbasis siri’ mensyaratkan, bahwa dalam penegakan hukum struktur hukum yang dilaksanakan oleh, Hakim, Jaksa, Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Koruspi mesti konsisten, bertanggung jawab dan tidak tebang pilih. siapapun dia, anak, keluarga, anggota organisasi partai, jika terbukti bersalah mesti ditindak sesuai hukum yang berlaku, (Ius Constitutum), kiranya lebih santun, jika kita memaknai kehidupan Rasulullah Muahammad SAW. 

Dalam proses penegakan hukum, sebuah kisah mesti dibangkitkan, Rasululullah Muhammad SAW mencontohkan dalam sebuah ucapan hikmah, “jika Fatimah yang mencuri, maka saya yang akan memotong tangannya”. Dalam panggung sejarah Bugis Makassar pun, kita mengenal salah seorang tokoh besar yang gigih menegakkan hukum secara konsisten, adalah Nene’ Mallomo seorang hakim kerajaan Sidrap yang rela menghukum anaknya yang mengambil kayu dari kebun tetangga, untuk memperbaiki mata bajaknya yang rusak. Ketika masyarakat memprotes, Nene’Mallomo berucap ”Nennia adeq e, temmakeanaq temmakkeeppo” yang bermakna, hukum tidak mengenal anak dan cucu. 

Begitupun dengan proses pengelolaan perekonomian, Perekonomian negara mesti dibangun diatas konsep siri’, dalam konsep ini, pemerintah mesti malu jika tidak memberikan kesejateraan terhadap rakyatnya, pemerintah mesti bertanggung jawab terhadap kekayaan yang melekat dalam bangsa kita, mengelolanya dengan konsep ekonomi kerakyatan sebagaimana yang dicita-citakan oleh Bapak Mohammad Hatta, wakil Presiden pertama Republik Indonesia. 

Pemaknaan siri’ yang terakhir adalah, bagaimana membangun komunikasi kemasyarakatan bersendikan nilai-nilai siri’, dalam gagasan ini, nasehat bijak dalam falsafah Bugis dan Makassar dapat kita jadikan rujukan guna memperkuat bangunan sosial kemasyarakatan, Sipakatau, Sipakainga’ Sipakala’bi atau sipakala’biri, mesti mewujud dalam pentas sosial kebangsaan. Konsep Sipakatau, Sipakainga’ Sipakala’bi atau sipakala’biri dalam literatur Makassar, yang berarti saling menghormati, saling mengingatkan, dan saling harga-menghargai, dua konsep kearifal lokal tersebut, telah menemani perjalanan panjang yang telah diwariskan oleh leluhur masyarakat Bugis dan Makassar. Dua konsep tersebut merupakan “pakaian” yang tidak boleh lepas dalam berperangai, “pusaka” yang mesti dijaga atau warisan yang wajib dilestarikan. Sudah selayaknya, sipakatau, sipakainga’ dan sipalebbi’ atau sipakalebbiri’ mesti mewujud dalam kehidupan sosial kebangsaan kita. 

Tentunya, untuk untuk mengaplikasikan ketiga nilai tersebut membutuhkan kesungguhan dan keseriusan, bukan hanya “pemanis bibir”, untuk menegaskan bahwa kita adalah bangsa berbudaya, lebih dari itu, tiga nilai tersebut mesti kita aktualkan dalam kehidupan bangsa ini, intinya bagaimana kearifan lokal yang didalamnya memuat nilai agung, seperti siri, sipakatau, sipakainga dan sipakalebbi’ menjadi titik tolak dalam bersikap. Nilai tersebut merupakan nilai fundamental untuk membangun masyarakat dan bangsa yang beradab, bangsa ini telah lelah dengan rapuhnya bangunan hukum, ketimpangan ekonomi, maraknya kekerasan, pupusnya bangunan moral, etika, dan martabat bangsa, baik dimata rakyat maupun di mata internasional. 

Kearifan budaya lokal yang menunjukkan identitas dan karakter budaya lokal mestinya terlihat secara jelas dalam konsep ketahanan budaya lokal yang mestinya nilai kaearifan budaya lokal tetap terjaga dan menjadi niilai yang tetap ada untuk memperkokoh ketahanan budaya lokal. Untuk menuju ke arah ketahanan budaya lokal dan Pelestarian “Esensi” dan Pengembangan “Substansi” unsur unsur budaya universal, perlu tetap diupayakan : · Memahami esensi masing-masing nilai kearifan lokal untuk dilestarikan berlandaskan warisan kearifan budaya lokal. · 

Memahami substansi masing-masing nilai kearifan lokal untuk dikembangkan ke dimensi kekinian, sejalan waktu dan kemajuan teknologi yang berorientasi ke masa depan. · Bahwa mempertahankan jati diri dan karakter etnis lokal amatlah penting di tengah deraan arus modernisasi dan kecenderungan universalisasi. Namun hidup dan kehidupan memang berhak berkembang sehingga perubahan lingkungan strategis etnis perlu diperhitungkan untuk pengembangan dan ketahanan budaya etnis local. 

Sumber : 
http://www.eksepsi.com/2012/06/kearifan-lokal-siri-dan-pembangunan.html 
http://komunitas-duapitue.blogspot.com/2011/05/kearifan-lokal-masyarakat-bugis.html http://www.sangbaco.com/2012/04/kekuatan-pesan-amanah-suku-bugis.htmlhttp://innarahmaani.blogspot.com/2013/01/prinsip-hidup-suku-bugis-makassar.html http://agustanbone.wordpress.com/2011/10/02/nilai-nilai-budaya-lokal-yang-terabaikan/ http://syahriartato.wordpress.com/2010/02/15/mempertahankan-nilai-kearifan-budaya-lokal-sulawesi-selatan-sebuah-keniscayaan
 http://innarahmaani.blogspot.com/2013/01/prinsip-hidup-suku-bugis-makassar.html

1 komentar:

  1. warna latar terlalu terang sehingga tidak menarik untuk mebacanya. saya faham kenapa warna ini menjadi latar bel;akang tetapi menjadi tidak menarik untuk dibaca karena silau. terima kasih'

    BalasHapus